30 Maret 2008

ADAKAH JALAN KESELAMATAN YANG NYAMAN ?


Jalan keselamatan didambakan, tetapi dilalui enggan. Jalan keselamatan diwartakan, namun konsekuensi penderitaan yang acapkali digambarka dan digemborkan. Benarkah jalan keselamatan tak menawarkan kenyamanan, sehingga lebih banyak jalan kenikmatan yang dikejar - hingga tak peduli harga yang mesti dibayar ?


Gambaran Penderitaan

Dalam perjanjian lama, jalan keselamatan seolah terwakili dengan kisah bangsa Israel keluar dari Mesir. Begitu panjang waktu (40 tahun) yang harus ditempuh untuk sampai di ”Negeri yang Dijanjikan” dari perhitungan waktu perjalanan normal (4 tahun). Bahkan, tak sedikit korban berjatuhan, karena bosan dengan berbagai kesulitan yang dihadapi selama perjalanan.

Demikian pula dalam perjanjian baru, jalan keselamatan juga diibaratkan agar kita memikul salib, seperti halnya Simon dari Kirene yang dipaksa memanggul salib menuju ke Golgota. Serta kisah Saulus yang spektakuler menjadi manusia baru yang menjadikan segala kesukaran dan sengsara sebagai wujud kesetiaan iman. Jalan keselamatan digambarkan akan menjumpai segala kesukaran dan sengsara, mulai dari: kemiskinan, terhina, terpinggirkan, diperhamba, menjadi kambing hitam, tertindas dan seterusnya hingga teraniaya serta kematian.

Jalan keselamatan akhirnya identik dengan ”kepahitan hidup” karena harus menolak segala sesuatu yang duniawi atau ”kedagingan”. Hidup melawan hidup. Sementara realitas hidup ukurannya adalah martabat. Lebih konkretnya adalah manusia yang mampu menjadikan dirinya ”dihargai”, agar dapat membeli segala kenikmatan hidup tertinggi. Tanpa terkecuali, dalam kehidupan sosial dan rohani, kita pun cenderung lebih menghargai sesama karena jabatan, status dan kekayaan yang dimiliki.

Mengejar Kenikmatan

Sejak manusia lahir ia mulai belajar tentang apa yang dilihat, dirasakan dan menjadi kenyataan adalah ukuran ”kenikmatan”. Menderita dan sengsara dianggap sebagai kelemahan dan kebodohan. Memiliki kekuasaan, kemewahan dan terkenal merupakan capaian keberhasilan untuk menuju kenikmatan hidup.

Dengan mudah orang akan bersikap manis budi dan hormat khusus, bila: pakaian kita indah, mobil mewah, royal memberi tip, memasuki resto mahal, menyewa kamar president suite di hotel bergengsi, diiringi pengawal pribadi, memberi sumbangan besar, dan semua perlakuan istimewa yang membuat orang sekeliling menoleh dan iri.

Tapi, apa yang akan kita terima, apabila berdiri di samping jendela kaca mobil meminta belas kasihan, menunggu wawancara lamaran hanya berbekal ijazah SMA, antre menabung bukan nasabah prioritas atau private banking, memulung sampah plastik, dan semua predikat yang berderajat rendah.

Maka dianggap wajar dan sah, jika semua orang berlomba mengejar ”kenikmatan sebagai tujuan hidup” dengan berbagai cara. Jika perlu, dengan cara menyikut, melempar, menekan hingga menghabisi korban. Itulah harga yang harus dibayar.

Terlupakan oleh kita, bahwa nafas yang menandakan kita hidup ada tenggat waktunya alias tibanya ajal. Dan sesungguhnya, hidup kita hanya menyewa dari Allah sebagai Pemilik dari Sang Waktu. Sedangkan perasaan adalah warna yang menghiasi perjalanan waktu: bergembira, berpestapora, berkuasa, berduka, bangga, sedih, kecewa, takut, sakit, dstnya .. akhirnya akan usai masanya. Sia-sia pula kita bersungut-sungut akan nasib dan takdir manusia, karena kita sendirilah yang menulis kitab kehidupan ketika waktu belum pergi.

Hikmat

Jika penderitaan hidup diajarkan sebagai jalan keselamatan, kesan yang muncul seolah Allah menciptakan manusia untuk menderita, sengsara dan senang menghukum manusia. Lantas, bagaimana dengan karunia kemewahan dan popularitas yang diberikan Allah kepada Salomo atau Sulaiman ? Kebahagiaan Hana yang mandul karena didengar permohonannya oleh Allahyang berharap mempunyai anak dengan kelahiran Samuel ? Kesetian Yusuf kepada perintah Allah yang akhirnya diberi ganjaran kekuasaan sebagai pejabat paling berpengaruh di Mesir ? Maha Pengasih Allah yang senantiasa mengampuni kedegilan hati manusia, dengan menjadikan Yesus sebagai ”domba korban” dan Juru Selamat bagi manusia ?

Jangan-jangan, kita keliru memaknai hikmat dari setiap firman Tuhan. Bukankah Yesus juga mengajarkan arti kebahagiaan hidup (Mat 5:1-12). Yesus tidak melarang siapapun untuk menikmati hidup, terutama berlandaskan kepada 2 (dua) perintah utama: mengasihi Allah dan sesama manusia.

Jalan keselamatan sejati berlandaskan pada kasih yang akan membawa manusia kepada kedamaian, keadilan, kesetaraan, kegotongroyongan, toleransi, kepedulian, kebersamaan, saling menghargai, tolong-menolong. Dengan kasih, tidak ada tempat bagi kebencian melainkan pengampunan. Dengan kasih, tidak ada tempat bagi kesombongan, menlainkan kerendahan hati. Dengan kasih, tidak ada tempat bagi kekuatiran, melainkan berserah diri pada kehendakNya. Dengan kasih, kita berani memiutangi Tuhan untuk berbuat kebaikan kepada sesama. Dengan menjadi kaya ataupun miskin, kita tetap nyaman melalui jalan keselamatan. Karena hati dan pikiran kita tidak lagi dipermainkan oleh perasaan ataupun persepsi yang menjerumuskan.

Itulah sesungguhnya yang diharapkan Yesus dengan ”kematian akan dosa” dan ”Kebangkitan menuju jalan keselamatan”. Kita semua diajak untuk berubah dari segala perilaku yang membinasakan hidup. Berubah untuk berbuah.

Renungan ini sengaja ditulis sesudah perayaan Paskah, dengan harapan tak berlalu kemeriahan mensyukuri belas kasih dan kemurahan hati Tuhan. Agar Yesus pun bersukacita ketika kembali ke dunia mengadili orang hidup dan mati, Ia mendapati pengurbananNya tak sia-sia.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Manusia yang memuja "daging", pada dasarnya memandang segalanya dari hal "daging" atau dia sendiri frustrasi karena tidak dapat berkarya untuk sesama. jangankan untuk sesama, untuk keluarganya pun, tidak.
Hal terpenting yang harus diingat adalah: tidak menghakimi tapi perbaiki diri setiap hari.

Anonim mengatakan...

Foto yang bagus dan unik....